Selasa, 10 Mei 2016

KAJIAN PROSES PEMBUATAN SILASE, HAY DAN HAYLAGE

KAJIAN PROSES PEMBUATAN SILASE, HAY DAN HAYLAGE



A.                KAJIAN PROSES PEMBUATAN SILASE
Silase merupakan pakan produk awetan dari hijauan, hasil sampingan pertanian dan agroindustri dengan kadar air tinggi yang dibuat melalui proses ensilase (fermentasi) oleh bakteri asam laktat pada kondisi asam dan anaerob dalam suatu tempat yang biasa disebut silo. Tujuan utama pembuatan silase adalah untuk mengawetkan dan mengurangi kehilangan zat makanan suatu hijauan untuk dimanfaatkan pada masa mendatang, seperti saat musim paceklik. Silase memiliki beberapa kelebihan antara lain pakan lebih awet, tidak memerlukan pengeringan, mengurangi kerusakan pakan akibat pemanasan, memiliki kandungan bakteri asam laktat yang berperan sebagai probiotik dan memiliki kandungan asam organik yang berperan sebagai growth promotor serta penghambat penyakit.
Silase yang baik diperoleh dengan menekan berbagai aktivitas enzim yang berada dalam bahan baku yang tidak dikehendaki namun dapat mendorong berkembangnya bakteri penghasil asam laktat. Pembuatan silase secara garis besar dibagi menjadi empat tahap, yaitu sebagai berikut :

Tahap Aerob
Pada tahap ini berlangsung dua proses yaitu proses respirasi dan proses proteolisis, akibat adanya aktivitas enzim yang berada dalam tanaman tersebut sehingga menghasilkan pH sekitar 6 – 6,5. Sebelum sel-sel di dalam tumbuhan mati atau tidak mendapatkan oksigen, maka mereka melakukan respirasi untuk membentuk energi yang di butuhkan dalam aktivitas normalnya. Respirasi ini merupakan konversi karbohidrat menjadi energi. Respirasi ini di bermanfaat untuk menghabiskan oksigen yang terkandung beberapa saat setelah bahan di masukan dalam silo. Namun respirasi ini mengkonsumsi karbohidrat dan menimbulkan panas, sehingga waktunya harus sangat di batasi. Respirasi yang berkelamaan di dalam bahan baku silase akan menimbulkan panas yang akan meningkatan temperatur dapat mempengaruhi kecepatan reaksi serta dapat merusak enzim. Peningkatan tempetarur juga dapat mempengaruhi struktur silase misalnya perubahan warna silase menjadi gelap serta dapat mengurangi kadar karbohidrat yang pada ahirnya bisa menggagalkan proses fermentasi. Pengurangan kadar oksigen yang berada di dalam bahan baku silase, saat berada pada ruang yang kedap udara yg disebut dengan silo merupakan cara terbaik meminimalkan masa respirasi ini. Selain itu, peningkatan temperatur silase dapat dibatasi dengan pemanenan tanaman dengan kadar air yang tepat dan dengan meningkatkan kepadatan silase. Pemadatan silase terkait dengan ketersediaan oksigen di dalam silo, semakin padat silase maka oksigen semakin rendah sehingga proses respirasi semakin pendek.

Tahap Fermentasi
Setelah kadar oksigen habis, maka proses fermentasi di mulai. Tahap fermentasi ini berlangsung berlangsung selama 1 minggu sampai 1 bulan ketika kondisi anerob tercapai pada bahan yang diawetkan. Tahap fermentasi ini adalah untuk menurunkan kadar pH di dalam bahan baku silase sampai dengan kadar pH dimana tidak ada lagi organisme yang dapat hidup dan berfungsi di dalam silo.
Pada tahap ini beberapa proses mulai berlangsung, isi sel makanan mulai dirombak. Glukosa difermentasikan menghasilkan asam laktat dan etanol. Produksi asam laktat oleh BAL menurunkan pH (menurunkan keasaman) silase dan menjadi kunci stabilitas serta pengawetan silase. Selain itu proses fermentasi juga dapat meningkatkan temperatur silase. Kenaikan temperatur tidak akan terjadi jika kondisi silo tertutup rapat dan masih dalam kondisi anaerob. Umumnya temperatur yang baik untuk pembuatan silase berkisar 25 - 50°C. Temperatur dalam pembuatan silase tidak boleh lebih dari 50°C, karena pertumbuhan optimum untuk bakteri asam laktat yaitu sekitar 35°C, sedangkan temperatur yang terlalu rendah (dibawah 25°C) akan menyebabkan tumbuhnya bakteri pembusuk.

Tahap Stabil
            Setelah masa aktif pertumbuhan bakteri asam laktat berakhir, maka ensilase memasuki tahap stabil, ditandai dengan stabilnya pH silase dan hanya sedikit sekali aktivitas mikroba. Pada keadaan inilah bahan baku disebut dalam keadaan awet, sehingga silase dapat di simpan bertahun-tahun selama tidak ada oksigen yang menyentuhnya.

Tahap Pengeluaran Silase
            Saat pengeluaran silase yang akan diberikan kepada ternak sebaiknya dilakukan secara hati – hati, karena oksigen secara bebas akan mengkontaminasi permukaan silase yang terbuka, sehingga akan menurunan lama masa simpan silase. Silase yang tersimpan dalam kondisi tertutup rapat dapat bertahan 4 – 8 bulan.

Kualitas Silase
Silase yang baik biasanya dpengaruhi dari pemotongan hijauan tepat waktu (menjelang berbunga), pemasukan ke dalam silo dilakukan dengan cepat, pemotongan hijauan dengan ukuran yang memungkinkannya untuk dimampatkan, penutupan silo secara rapat (tercapainya kondisi anaerob secepatnya) dan tidak sering dibuka. Silase yang baik memiliki karakteritik sebagai berikut :
1.      Berwarna hijau kekuning-kuningan atau hijau kecoklatan tergantung bahan pembuatan silase
2.      Beraroma dan berasa asam
3.      Tidak berbau busuk
4.      Apabila dipegang terasa lembut dan empuk tetapi tidak basah (berlendir)
5.      Tidak menggumpal dan tidak berjamur
6.      Bila dilakukan analisa lebih lanjut, kadar keasamanya (pH) antara 3,2-4,5 dengan kadar air antara 50 -75%.

Proses Pembuatan Silase
            Berikut contoh proses pembuatan silase :
1.      Siapkan silo (drum, bak, lubang, dll) dan lapisi dengan plastik
2.      Siapkan bahan pakan yang akan dibuat silase (hijauan, limbah pertanian, konsentrat, bahan aditif, dll)
3.      Layukan hijauan untuk mengurangi kadar air dan dilakukan pemotongan kecil – kecil
4.      Campurkan semua bahan yang akan dibuat silase, apabila hijauan terlalu kering tambahkan air sampai kadar air mencapai 40%
5.      Masukkan campuran bahan silase ke dalam silo yang telah dilapisi plastik
6.      Tekan dengan kuat dan injak – injak bahan silase agar udara di dalam keluar
7.      Ikat plastik dengan rapih, rapat dan jangan sampai bocor kemudian tutup silo menggunaan penutupnya dengan rapat
8.      Bahan yang dimasukkan selanjutnya diperem (difermentasikan) selama 3 minggu. Setelah itu drum dapat dibuka dan silase dapat diberikan pada ternak. Setelah mengambil silase silo harus ditutup kembali agar udara bebas tidak mengontaminasi silase.

B.                 KAJIAN PROSES PEMBUATAN HAY (HIJAUAN KERING)
Hay merupakan hijauan pakan ternak yang sengaja dipotong dan dikeringkan hingga kadar airnya tersisa 12 – 20% agar dapat disimpan dan diberikan kepada ternak pada kondisi tertentu, misalnya digunakan pada musim kemarau. Tujuan utama pembuatan hay yaitu untuk mengurangi kadar air dalam bahan pakan sehingga aman untuk disimpan tanpa mengalami kerusakan atau hilangnya nutrien secara serius. Selain itu dengan pembuatan hay dapat digunakan untuk persediaan makanan ternak di musim kering, memanfaatkan hijauan pada saat pertumbuhan terbaik, memanfaatkan hijauan limbah dari tanaman kacang kacangan dan sebagai pakan dalam perjalanan lintas benua. Untuk mendapatkan hay dengan nilai gizi dan palatabilitas yang tinggi, maka hijauan harus dipotong saat menjelang berbunga, selanjutnya hijauan tersebut dikeringkan dengan sinar matahari maupun dengan pengering buatan.
Prinsip pembuatan hay yaitu menurunkan kadar air menjadi 12 - 20% dalam waktu singkat dengan panas matahari maupun buatan. Tanaman yang telah dipotong dari kebun kemudian di keringkan, maka dalam periode pengeringan ini masih terjadi respirasi yang merubah zat pati menjadi glukosa yang akhirnya pecah mejadi H2O dan CO2, hal inilah yang mengurangi kualitas dari hay. Untuk menghindari hal ini maka pengeringan harus di lakukan secepat mungkin, penyinaran yang singkat dan jangan sampai kehujanan.
Lama pengeringan dipengaruhi oleh sumber panas, suhu, kelembaban dan bentuk fisik hijauan. Hijauan dengan bentuk kasar biasanya lebih lama di keringkan debandingkan yang halus. Semakin lama proses pengeringan maka akan semakin banyak pula zat gizi pakan yang hilang. Saat penyinaran yang buruk juga akan menyebabkan kerusakan atau kehilangan zat gizi pakan mencapai 50 - 60%, tetapi dalam cuaca yang baik zat gizi pakan hanya hilang 25% saja. Proses pengeringan yang berjalan cepat dan dapat menurunkan kandungan air hingga 15% akan lebih baik dari pada proses pengeringan yang berjalan lambat dan memakan waktu lama. Proses penyimpanan dan pengankutan juga harus diperhatikan, karena penyimpanan dan pengangkutan yang tidak tepat akan mempengaruhi kualitas hay. Karakteristik hay yang baik adalah berwarna tetap hijau meskipun ada yang sedikit kekuningan, bentuk hijauan masih tetap utuh dan tidak mudah patah, tidak kotor, tidak berjamur serta mau dimakan oleh ternak.

Proses pengeringan
Proses pengeringan dalam pembuatan hay dapat dilakukan dengan dua cara yaitu Pengeringan dengan panas buatan dan pengeringan panas matahari. Pengeringan dengan panas buatan biasanya dilakukan di negara dengan empat musim atau sub tropis, sebab lamanya penyinaran matahari lebih pendek di bandingkan negara tropis, dengan suhu pengeringan mencapai 600 - 800ยบ C. Kelebihannya adalah lebih cepat dan praktis. Kekurangannya adalah perlu biaya dan kehilangan Vit D. sedangkan pengeringan dengan panas matahatri dilakukan dengan menjemur hijauan di bawa sinar matahari, hijauan hendaknya dibalik setiap 2 jam sekali. Lama pengeringan tergantung tercapainya kandungan air antara 12 – 20%. Usahakan dalam pengeringan daun jangan sampai keriting dan tempat penjemuran di beri alas jangan langsung menyentuh tanah. Tempat menjemur terbaik yaitu dengan para para. Metode penjemuran dengan panas matahari dapat dilakukan dengan dua cara sebagai berikut :
Metode Hamparan
Merupakan metode sederhana, dilakukan dengan cara meghamparkan hijauan yang sudah dipotong di lapangan terbuka di bawah sinar matahari. Setiap hari hamparan di balik-balik hingga kering. Hay yang dibuat dengan cara ini biasanya memiliki kadar air 20 – 30%  dengan tanda warna kecoklatan.

Metode Pod
Dilakukan dengan cara meghamparkan hijauan yang sudah dipotong di lapangan terbuka di bawah sinar matahari dengan menggunakan semacam rak sebagai tempat menyimpan hijauan yang telah dijemur selama 1 – 3 hari (kadar air ± 50%).

C.                KAJIAN PROSES PEMBUATAN HAYLAGE
Haylage merupakan proses lanjutan dari hay untuk dijadikan silase (Silase yang dibuat dari hay dengan kadar air kurang dari 60 %). Pada dasarnya prinsip pembuatan haylage sama dengan pembutan silase, yaitu melalui proses ensilase (fermentasi) pada kondisi anaerob yang disimpan dalam silo, hanya saja haylage dibuat dari hijauan kering (hay) sedangkan silase terbuat dari hijauan segar. Pembuatan haylage bertujuan untuk mengawetkan bahan pakan dan memperkecil kehilangan kandungan nutrien dalam pakan. Selain itu pembuatan haylage juga bertujuan untuk meningkatkan palatabilitas karena hay mempunyai palatabilitas yang rendah serta untuk memanfaatkan limbah hasil pertanian yang kondisinya sudah mengering agar disukai oleh ternak.
            Kualitas haylage yang dihasilkan dipengaruhi oleh bahan baku haylage, jenis silo, bahan pengawet, dan faktor lain yang meliputi pelayuan, perlakuan mekanis, perlakuan pasca penen hijauan, stuktur tanaman dan kandungan protein. Haylage yang baik mempunyai karakteristik antara lain berbau asam, tidak berjamur, tidak berlendir, mempunyai warna yang seragam (hijau kecoklatan) dan teksturnya jelas. Berikut ini contoh proses pembuatn haylage:
1.    Siapkan hijauan yang telah dikeringkan (hay) dan silo yang telah dilapisi plastik
2.    Menghamparkan hay di atas lantai  
3.    Memercikkan starter pada hay sampai merata untuk mempercepat proses fermentasi
4.    Menambahkan air sampai tingkat kebasahan hay sesuai untuk di fermentasi  
5.         Memasukkan campuran hay dan starter ke dalam silo dengan cara sedikit demi sedikit dan di padatkan agar udara di dalam keluar
6.    Ikat plastik dengan rapih, rapat dan jangan sampai bocor kemudian tutup silo menggunaan penutupnya dengan rapat
7.    Diamkan campuran bahan tersebut selama 3 – 4 minggu agar proses fermantasi berlangsung sempurna. Setelah 3 – 4 minggu haylage siap diberikan kepada ternak.

D.                BAHAN – BAHAN DALAM PEMBUATAN SILASE, HAY DAN HAYLAGE

1.                  Bahan – Bahan Pembuatan Silase
            Bahan untuk membuat silase setidaknya digunakan tiga jenis bahan pakan, diantaranya hijauan, konsentrat dan bahan aditif. Hijauan merupakan sumber serat utama dalam pembuatan silase. Hijauan yang digunakan dalam pembuatan silase merupakan hijauan atau bagian bagian lain dari tumbuhan yang disukai ternak ruminansia, seperti rumput, legume, biji bijian, tongkol jagung, pucuk tebu, batang nanas, tongkol gandum, jerami padi dan lain-lain. Syarat hijauan (tanaman) yang dibuat silase yaitu segala jenis hijauan serta bijian yang di sukai oleh ternak, terutama yang mengandung banyak karbohidratnya. Kadar air bahan yang optimal untuk dibuat silase adalah 65-75%. Kadar air tinggi menyebabkan pembusukan dan kadar air terlalu rendah sering menyebabkan terbentuknya jamur. Kadar air yang rendah juga dapat meningkatkan suhu dalam silo sehingga meningkatkan resiko kebakaran.
Konsentrat digunakan untuk memperbaiki kandungan nutrisi serta sebagai stimulan dan subtrat penopang roses fermentasi. Konsentrat yang biasa digunakan meliputi dedak, bekatul, onggok dan ampas sagu. Onggok bisa ditambahkan sebanyak 2,5% dari berat hijauan. Sedangkan dedak halus sebanyak 5% dan jika menggunakan ampas sagu diperlukan 7% dari berat hijauan.
Bahan aditif untuk pembuatan silase dibedakan menjadi 2 jenis yaitu stimulan dan inhibitor.  Bahan aditif yang masuk kategori stimulan adalah bahan pakan sumber karbohidrat seperti molasses. Selain itu molases dan urea juga bisa ditambahkan untuk meningkatkan kandungan protein silase berbahan baku jagung. Bahan stimulant lain yang juga bisa dipakai adalah enzim atau mikrobia yang biasa dijual di pasaran. Sedangkan bahan yang masuk kategori inhibitor diantaranya asam format, asam klorida, antibiotik, asam sulfat dan formalin. Penambahan inhibitor bermanfaat untuk proses ensilase, tetapi penggunaannya masih asing bagi petani kita. Hal ini dikarenakan bahan stimulan lebih mudah didapatkan, harganya juga lebih murah serta lebih ramah lingkungan.
Rasio perbandingan hijauan, konsentrat dan bahan aditif yang digunakan adalah 7 : 2 : 1 atau 6 : 3 : 1 yang didasarkan apada presentase berat.

2.                  Bahan – Bahan Pembuatan Hay
Bahan utama untuk pembuatan hay adalah segala macam hijauan (rumput atau legume) dan jerami yang di sukai oleh ternak ruminansia. Cara memanen dan menangani paska panen sangat mempengaruhi kualitas hay. Cara memanen yang kurang baik akan mengakibatkan banyaknya hijauan yang akan tercecer dan terbuang. Juga bila hijauan telah dipanen harus diletakkan ditempat yang teduh dan memadai, karena jika tertimpa hujan maka kualitas hijauan tersebut akan menurun.
. Syarat hijauan (tanaman) yang dibuat hay yaitu bertekstur halus atau yang berbatang halus agar mudah kering, dipanen dari area yang subur, dipanen saat menjelang berbunga (berkadar protein tinggi, serat kasar dan kandungan air optimal), sehingga hay yang diperoleh tidak berjamur (tidak berwarna “gosong”) yang akan menyebabkan turunnya palatabilitas dan kualitas.
Agar hay dapat lebih awet disimpan, maka biasanya diberi bahan tambahan yang berupa bahan pengawet. Adapun macam-macam pengawet yang dapat dipakai antara lain garam dapur (Nacl), asam propionic, dan amonia cair. Garam sebagai pengawet diberikan 1-2% akan dapat mencegah timbulnya panas karena kandungan uap air, juga dapat mengontrol aktivitas mikroba, serta dapat menekan pertumbuhan jamur. Asam propionic berfungsi sebagai fungicidal dan fungistalic untuk mencegah dan memberantas jamur yang tumbuh serta tidak menambah jumlah jamur yang tumbuh. Adapun pemberian untuk hay yang diikat (dipak) sebanyak 1% dari berat hijauan. Amonia cair juga berfungsi sebagai fungicidal dan pengawet, mencegah timbulnya panas, meningkatkan kecernaan hijauan tersebut dan memberikan tambahan N yang bukan berasal dari protein (NPN).

3.                  Bahan – Bahan Pembuatan Haylage
Haylage merupakan proses lanjutan dari hay untuk dijadikan silase, dengan kata lain Haylage adalah hay yang dijadikan silase. Sehingga bahan - bahan yang digunakan dalam pembuatan haylage sama dengan bahan – bahan pembuatan silase. Perbedaannya hanya terdapat pada bahan utamanya, jika silase menggunakan hijauan segar hylage menggunakan hijauan kering (hay).

Sumber :

Amalia, R. N. 2010. Kajian silase daun ubi kayu (Manihot esculenta) dengan berbagai zat aditif terhadap kecernaan in vitro. Fakultas Peternakan Institut pertanian Bogor. (Skripsi).

Hanafi, N. D. 2008. Teknologi Pengawetan Pakan Ternak. Universitas Sumatera Utara.

Rahmat dan B. Harianto. 2012. 3 Jurus Sukses Menggemukkan Sapi Potong. Agromedia Pustaka, Jakarta.

Rukmana, R. 2005. Budidaya Rumput Unggul Hijauan Makanan ternak. Kanisius, Yogyakarta.



Yusandi. 2008. Kajian mutu dan palatabilitas silase dan hay ransum komplit berbasis sampah organik primer pada kambing Peranakan Etawah. Program Pascasarjana Institut pertanian Bogor. (Tesis).

TANTANGAN NYATA SARJANA PETERNAKAN INDONESIA

TANTANGAN NYATA SARJANA PETERNAKAN INDONESIA
Oleh:
Dr Ir Ali Agus DAA, DEA,
Dosen Fakultas Peternakan UGM,
Ketua ISPI Cabang DIY, Ketua Panitia Kongres IX ISPI 2006
Indonesia telah lama dikenal sebagai negara agraris yang sangat subur. Mayoritas penduduknya (sekitar 60% dari total populasi) hidup dari sektor pertanian dan bekerja sebagai petani, pekebun, peternak dan nelayan. Sebagai negara yang kaya akan hasil bumi maka Indonesia memliki potensi alam yang sangat besar, yang dapat dieksplorasi sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Di Indonesia ditemukan tidak kurang dari 945 jenis tanaman asli Indonesia yang terbagi menjadi 77 jenis sumber karbohidrat, 75 jenis sumber lemak/minyak, 26 jenis kacang-kacangan, 389 jenis buah-buahan, 228 jenis sayuran, 40 jenis bahan minuman, 110 jenis rempah-rempah dan bumbu-bumbuan, serta 17% species dunia ditemukan di Indonesia. Namun dari potensi alam yang sangat besar tersebut ternyata masih banyak jenis sumber daya alam yang belum dapat diolah dan dimanfaatkan secara optimal oleh bangsa Indonesia sendiri. Ironisnya, sebagian besar kebutuhan pangan telah tergantung impor dari negara lain.
Menurut beberapa sumber disebutkan bahwa komoditas dan jumlah impor bahan pangan seperti beras 3,7 juta ton, gandum 4,5 juta ton, gula 1,6 juta ton, kedelai 1,3 juta ton, bungkil kedelai 1 juta ton, jagung 1,3 juta ton, ternak sapi 450,000 ekor, daging dan jeroan 42 ribu ton, dan susu, mentega, keju : 170 ribu ton setiap tahunnya. Data tersebut menggambarkan pemanfatan potensi alam yang kurang optimal atau karena tingginya tingkat kebutuhan akibat jumlah penduduk yang besar, sehingga kebutuhan pangan tidak dapat dipenuhi dari produksi dalam negeri sendiri. Bahkan beberapa waktu yang lampau kita semua tersentak dan kaget oleh berita baik di televisi maupun mass media lain karena masih ada sebagian dari warga negara ini meskipun hidup di alam merdeka 61 tahun silam, ternyata masih ada yang mengalami gizi buruk. Di sisi lain, sebagai negara agraris tentu Indonesia memiliki peluang agribisnis yang sangat besar, antara lain karena didukung Sumber Daya Alam (SDA) dan Sumber Daya Manusia (SDM) yang memadai. Dari segi SDM, jumlah penduduk di Indonesia tercatat nomor empat terbesar di dunia. Pada tahun 2000, populasi penduduk Indonesia mencapai 210 juta dan pada tahun 2035 diperkirakan mencapai 400 juta.
Dengan jumlah penduduk yang sangat besar tersebut maka secara otomatis merupakan potensi pasar yang luar biasa khususnya dalam hal pemenuhan kebutuhan pangan termasuk kebutuhan pangan hewani asal peternakan. Dalam konteks ini peluang agribisnis peternakan terbuka luas dalam penyediaan kebutuhan konsumsi pangan dan ini merupakan salah satu tantangan nyata yang sekaligus peluang bagi para Sarjana Peternakan. Salah satu peluang dalam upaya peningkatan produksi pangan dalam negeri adalah pemanfaatan lahan kering.
Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa Indonesia masih mempunyai potensi lahan khususnya lahan kering (60 juta ha) yang sangat luas untuk pengembangan pertanian termasuk peternakan. Namun yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana memanfaatkan lahan marginal (lahan kering) secara optimal dan apakah SDM kita sudah siap, serta strategi apa yang harus dilakukan untuk mempersiapkan SDM dalam pengembangan usaha peternakan yang berdaya saing di kawasan lahan tersebut ?
Usaha agribisnis pada umumnya dan khususnya usaha peternakan apalagi di lahan kering sampai saat ini masih belum efisien dan belum berdaya saing. Untuk membangun daya saing, usaha peternakan harus berorientasi pada pasar yaitu meliputi price, quality dan value. Persaingan pasar yang ketat menuntut pelaku bisnis untuk mampu mengatasi dan menyiasatinya dengan cara menghasilkan produk dengan harga yang relatif terjangkau dengan tetap mempertahankan kualitas yang baik. Sistem usaha tani yang seadanya dan secara tradisional belum menghasilkan keuntungan yang menggembirakan. Petani lahan kering tidak mungkin hidup jika ekonomi rumah tangganya hanya tergantung kepada hasil tanaman. Oleh karena itu, pendekatan yang tepat untuk menjawab tantangan tersebut di atas adalah melalui pendekatan sistem usahatani yang memadukan komoditas tanaman pangan/semusim dengan tanaman tahunan dan ternak dalam suatu model usahatani yang serasi dengan mempertimbangkan ketersediaan sumber daya yang dimiliki petani. Sistem usaha tani terpadu ini diarahkan untuk memperpanjang siklus biologis dengan mengoptimalkan lahan, hasil samping pertanian, perkebunan dan peternakan sehingga setiap mata rantai siklus menghasilkan produk baru yang bernilai ekonomis (hutan-tanaman pertanian-pakan-ternak).
Di samping upaya pengembangan usaha secara terpadu, kunci keberhasilan bisnis peternakan sangat tergantung pada SDM sebagai kunci utama dengan didukung oleh minimal tiga pilar pendukung yaitu 1) lingkungan, 2) modal, dan 3) teknologi. Dari pilar pendukung yang berupa lingkungan, peranan pemerintah sangat fundamental. Diharapkan pemerintah mempunyai komitmen politik yang kuat untuk mengembangkan agribisnis peternakan melalui misalnya penerbitan peraturan perundang-undangan yang memberikan kepastian hukum dalam pembangunan peternakan yang sinergis dengan peraturan perundang undangan lain yang terkait, menciptakan iklim usaha yang kondusif (keamanan), menyediakan sarana-prasarana transportasi dan komunikasi, dan adanya jaminan hukum atas penguasaan lahan untuk peternakan.
Dari segi modal, peran lembaga keuangan baik perbankan maupun lembaga keuangan non-bank diharapkan mendukung dalam upaya-upaya penguatan modal untuk pengembangan agribisnis peternakan. Selama ini ada indikasi bahwa pihak perbankan enggan menyalurkan kredit kepada usaha-usaha peternakan karena investasi di bidang peternakan dipandang cukup berisiko bila dibandingkan dengan jenis usaha lain. Penguatan modal sangat diperlukan untuk dapat meningkatkan aset bagi peternak dan pengusaha peternakan. Kebijakan penguatan modal harus lebih berpihak, dengan skim-skim tertentu yang favorable bagi pengembangan bisnis peternakan. Apabila kita bandingkan dengan kebijakan penguatan modal yang terjadi di negara tetangga seperti Australia dan Thailand sangatlah kurang berpihak pada pelaku bisnis peternakan di Indonesia. Di Australia, untuk usaha peternakan sapi potong pemerintah memberikan alokasi kredit cukup besar dengan tingkat suku bunga kurang dari 8% per tahun dan lama kredit antara 15-20 tahun. Kebijakan ini sangat membantu peternak sapi potong di Australia untuk memiliki aset yang cukup sehingga akhirnya berdaya saing tinggi. Demikian pula pengembangan ternak (sapi perah) di Thailand, kebijakan pemerintah dalam penguatan modal sangat menguntungkan peternak. Kalau kita bandingkan dengan kondisi di Indonesia, kebijakan penguatan modal masih belum memihak, karena sebagai contoh kredit ketahanan pangan, jangka waktu pengembalian kredit maksimal 3 tahun dengan tingkat suku bunga komersial (>12% per tahun). Kondisi demikian ini tidak memungkinkan petani-peternak memiliki aset yang cukup, sehingga daya saingnya tentu sangat rendah.
Upaya mendorong SDM menuju ke arah entrepreneur (agropreneur) baik yang masih berpendidikan rendah maupun yang telah berpendidikan tinggi (D3, S1) khususnya para Sarjana Peternakan untuk meniti karier di dunia bisnis peternakan-pertanian perlu terus dilakukan dan dalam hal ini Perguruan Tinggi mempunyai peran yang signifikan. Pendidikan Tinggi Peternakan perlu membekali lulusannya dengan knowledge, skill, ability dan attitude yang cukup di samping entrepreneurships maupun leaderships.
Di samping melalui jalur pendidikan untuk menghasilkan lulusan dan SDM yang qualified dan berjiwa entrepreneur, satu hal yang harus dilakukan terutama oleh pemerintah adalah perlunya pemberian “insentif” bagi pelaku usaha yang bersedia membangun usaha di kawasan lahan kering. Insentif dapat diterapkan misalnya dengan penerapan keringanan pajak, kemudahan-kemudahan dalam pengurusan usaha, perlindungan hukum dan pembangunan sarana-prasarana yang menunjang usaha. Penerapan insentif ini akan dapat mendorong SDM yang berkualitas dan berdedikasi untuk tetap bersedia tinggal dan hidup membangun daerah lahan kering dan secara tidak langsung akan mengurangi arus urbanisasi.
Usaha pengembangan ternak tidak hanya perlu modal, bibit unggul, pasar dan sarana prasarana akan tetapi sangat membutuhkan SDM yang tangguh dan andal, bermotivasi tinggi, trampil dalam mengelola usaha, tanggap terhadap permintaan pasar, dan responsif terhadap teknologi baru. Inilah tantangan riil para Sarjana Peternakan Indonesia untuk dapat mengoptimalkan lahan marginal yang masih undertulized melalui pengembangan usaha peternakan sehingga masalah kemiskinan dan gizi buruk perlahan tapi pasti akan dapat diatasi.
( kampoengternak.or.id )

MAKALAH BUDIDAYA SARANG WALET

MAKALAH BUDIDAYA SARANG WALET











Disusun Oleh :

Achmad Sifai
23010113130264







PROGRAM STUDI SI-PETERNAKAN
FAKULTAS PETERNAKAN DAN PERTANIAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2015

BAB I
PENDAHULUAN
A.        Latar Belakang
Usaha peternakan saat ini menunjukkan prospek yang sangat cerah. Selain  mempunyai peranan yang sangat penting dalam pertumbuhan ekonomi masyarakat, usaha peternakan juga ikut andil dalam program perbaikan gizi masyarakat. Sebagian besar masyarakat mengakui bahwa produk-produk dari peternakan dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat melalui pemenuhan kebutuhan gizi. Salah satu produk peternakan yang sangat potensial untuk dibudidayakan yaitu sarang burung walet. Sarang burung walet dinilai mempunyai kandungan gizi yang lengkap dan mempunyai nilai jual yang tinggi.
Sarang burung walet merupakan sarang biasa yang dihasilkan oleh burung spesies Collocalia.. Sejak lebih dari seratus tahun yang lalu, diketahui bahwa sarang dari beberapa jenis walet dapat dikonsumsi manusia bahkan diyakini memiliki khasiat dalam penyembuhan beberapa jenis penyakit, meningkatkan daya tahan tubuh, obat awet muda serta meningkatkan kesehatan tubuh. Keyakinan akan khasiat tersebut telah menjadikan sarang burung walet menjadi komoditas eksklusif sehingga mempunyai harga jual yang sangat tinggi bahkan bisa mencapai belasan juta rupiah. Melonjaknya harga sarang walet telah menimbulkan peningkatan produksi sarang, sehingga dikhawatirkan terjadi penurunan populasi burung walet di alam. Makalah ini mencoba membahas tentang jenis-jenis burung walet dan sarang yang dihasilkan serta pemanfaatan sarang burung walet Indonesia.

B.        Rumusan Masalah

a. Bagaimana jenis-jenis burung walet yang ada di indonesia ?
b. Bagaimana sarang yang dihasilkan oleh burung walet?
c. Bagaimana kandungan gizi dan pemanfaatan sarang burung walet?
d. Bagaimana cara mengetahui sarang burung walet yang dipalsukan ?
BAB II
ISI
A.        Jenis-Jenis Burung Walet
            Di indonesia diketahui terdapat 12 jenis burung walet, namun selama ini yang dikenal sebagai burung walet penghasil sarang hanya terdapat enam jenis. Dari keenam jenis burung tersebut bukan hanya menghasilkan sarang yang dapat dikonsumsi namun juga menghasilkan sarang yang tidak dapat dikonsumsi. Keenam jenis burung tersebut biasanya dibedakan berdasarkan warna bulu, ukuran tubuh, suara dan tipe sarangnya. Keenam jenis burung tersebut yaitu :

·         Walet Sarang Putih (Aerodramus fuchipagus)
            Walet jenis ini sangat diburu manusia untuk diambil sarangnya. Walet jenis ini membentuk sarangnya dengan menumpahkan liurnya hingga mengeras. Karakteristik dari burung walet jenis ini meliputi ukuran tubuhnya sekitar 12 cm, tubuh bagian atas berwarna coklat kehitam-hitaman dengan kombinasi warna abu-abu atau coklat, bagian bawahnya berwarna coklat dan belahan ekornya agak dalam. Suaranya melengking tinggi. Sayap walet ini lebih kaku dan terbangnya juga lebih kuat. Bila ia mencari makan jarang berputar-putar di tempat yang rendah. Walet putih lebih suka mencari makan dekat pohon-pohon tinggi yang banyak terdapat serangga kecil. Juga sering terlihat meluncur ke dalam air untuk mandi dan minum, lantas terbang lagi.di alam, sarangnya terletak di celah-celah batu karang, atau gua kapur yang sulit dicapai. Sarang tersebut seluruhnya terbuat dari air liur sehingga harganya mahal dan sering dicari pemetik sarang burung. Telur berwarna putih, berbentuk memanjang. Biasanya hanya bertelur dua butir. Walet putih bersarang secara musiman, tergantung pada tempat bersarang yang dipilihnya. Walet jenis ini tersebar di wilayah Filipina, Kalimantan, sumatra, Jawa dan Bali.


·         Walet Sarang Hitam (Aerodramus maximus)
            Warna bulu walet ini cokelat kehitam-hitaman dengan bulu ekor cokelat kelabu. Bulu ekor bercelah sedikit. Walet ini kakinya berbulu merata. Dalam hal ukuran tubuh, ia termasuk berukuran sedang. Panjang tubuhnya sekitar 12 cm. Jika dilihat sepintas, penampilannya sangat mirip walet putih. Mata berwarna cokelat tua, paruh hitam, dan kaki hitam. Tidak seperti walet lain, jenis ini suaranya terdengar mencicit. Walet ini juga memakan serangga-serangga kecil yang disambarnya ketika terbang. Untuk lokasi sarang, lebih meyukai pada gua-gua kapur. Sarangnya disebut sarang hitam karena air liur untuk membuat sarang bercampur dengan bulu-bulu tubuhnya yang berwarna hitam. Bila bertelur hanya sebuah. Warna telurnya putih, berbentuk memanjang. Musim kawinnya sama dengan walet putih. Seperti halnya walet putih, walet sarang hitam juga lebih mudah untuk dibudidayakan dibandingkan dengan jenis walet lainnya.

·         Walet Sarang Lumut (Aerodramus vanikorensi)
            Bulu burung ini berwarna cokelat kehitam-hitaman, tetapi warna ekor lebih gelap. Ekornya hanya sedikit bercelah. Dilihat dari jauh, penampilannya mirip dengan walet putih. Suara melengking tinggi. Tubuhnya berukuran sedang. Panjang tubuhnya sekitar 12 cm. Jenis walet ini jarang dikenal orang karena sulit ditemui. Sarangnya dibangun pada bagian-bagian gua yang lebih dalam dan sangat sukar untuk dicapai. Kuat terbang jauh dan tinggi. Jarang sekali terbang berputar-putar rendah dekat permukaan tanah. Sambil terbang ia langsung memangsa serangga-serangga kecil. Sarangnya bagus dengan permukaan yang halus dan bentuknya lebih bundar. Lumut digunakan untuk tambahan sarang sehingga sarangnya disebut sarang lumut.

·         Walet Gunung (Aerodramus brevirostris)

Warna burung ini hitam, tetapi warna ekornya abu-abu kehitaman. Bulu ekor bercelah dalam. Kakinya sedikit berbulu atau tidak berbulu sama sekali. Suaranya khas suara burung walet yang berderik. Ukuran tubuhnya tergolong besar. Panjang tubuhnya sekitar 14 cm. burung ini terbang berkelompok dengan cepat di dekat tebing atau puncak gunung. Serangga-serangga kecil makanannya disantap ketika terbang. Sarang dibuat di celah-celah batu. Biasanya sarang dibangun pada bekas kawah pegunungan. Karena terbuat dari rumput-rumputan dan hanya sedikit atau tidak ada air liur pada bahan sarangnya, maka sarang walet gunung tidak dapat dimakan. Pada musim kawin, biasanya bertelur dua butir.

·         Walet Sapi (Collocalia esculenta)
Walet ini berbulu hitam kebiru-biruan dengan warna yang mengkilat. Bulu bagian bawah kelabu gelap, bagian perut agak putih. Ekornya sedikit bercelah. Merupakan jenis walet yang berukuran paling kecil. Panjang tubuhnya hanya sekitar 10 cm. Mata berwarna cokelat gelap, paruh hitam, dan kaki hitam. Suaranya melengking tinggi. Habitatnya meliputi semua ketinggian permukaan, baik pada padang rumput berpohon terbuka atau hutan. Walet ini jika terbang berkelompok, tetapi tidak beraturan. Walet sapi tidak kuat terbang jauh. Biasanya terbang rendah hanya berputar-putar di dekat permukaan tanah atau sungai untuk mandi dan minum. Bila mencari makan, sering mengitari pohon-pohon besar dan tinggi yang banyak serangganya, terutama tawon kecil. Sarangnya berbentuk tidak beraturan, terdiri dari campuran lumut dan rumput yang direkatkan dengan air liurnya. Pada celah gua yang terang, celah batu walet sapi dapat bersarang. Bila bertelur biasanya hanya dua butir. Telurnya berwarna putih dan agak lonjong. Walet sapi bersarang tidak tergantung pada musim, ia bisa bersarang sepanjang tahun.

·         Walet Besar (Hydrochous gigas)
            Jenis walet ini berwarna hitam dengan bulu bagian bawah cokelat gelap. Bulu ekor agak bercelah. Suaranya keras dan berderik. Merupakan jenis walet yang berukuran paling besar dibandingkan dengan jenis walet lainnya. Panjang tubuhnya sekitar 16 cm. Karena sayap dan badannya lebih besar, walet ini dapat terbang lebih tinggi dan lebih cepat. Ketika terbang, ia memangsa serangga-serangga kecil yang menjadi makanannya. Walet besar lebih suka bersarang pada lubang-lubang batu (gua kecil), atau pada celah-celah batu dekat air terjun. Sarangnya tidak dapat dimakan. Sarang ini berbentuk mangkok, terbuat dari campuran akar-akaran, lumut, dan serat-serat. Dibandingkan dengan walet jenis lain, sarang walet besar termasuk kotor dan berantakan. Jika bertelur biasanya hanya sebutir. Warna telur putih, bentuknya agak lonjong. Pada bulan November dan Desember walet besar biasanya memasuki musim bersarang.

B.        Jenis-Jenis Sarang Burung Walet
Sarang burung walet merupakan sarang yang dihasilkan oleh burung spesies Collocalia. Sarang burung walet sebenarnya hanya sarang biasa yang tersusun dari air liurnya. Namun air liur itu menjadi komoditas eksklusif yang harganya bisa mencapai belasan juta rupiah. Sarang burung walet berbentuk seperti setengah mangkok. Biasanya sarang burung walet dikonsumsi dalam bentuk sup dan obat. Dari beberapa jenis sarang walet terdapat empat jenis sarang yang dapat dikonsumsi, diantaranya:

·         Sarang Putih (Edible-nest swiftlet, Yen-ou)

Sarang burung walet putih dihasilkan oleh walet  Aerodramus fushipagus , berasal dari gua dan  rumah (gedung). Sarang burung walet  putih  mempunyai ciri khas, yaitu berwarna putih kekuningan, tebal dan bulu menempel. Sarang yang berasal dari gua berwarna suram atau kotor, sedangkan sarang yang berasal dari rumah atau gedung berwarna  cerah  dan  bersih. Sarang burung walet  putih  berbentuk seperti mangkuk dibelah, berwarna putih, bening, kristal, utuh, tidak retak ataupun cacat, bersih dari bulu dan kotoran lipas atau kepinding. Ukuran sarang burung walet adalah 6-10 cm, tinggi mangkukan ± 4-5 cm.

·         Sarang Hitam (Black-nest swiftlet, Mo-yen)
          Sarang  burung  walet  hitam  dihasilkan oleh burung walet jenis Aerodramus  maximus. Burung walet  jenis  ini membentuk sarang dari blu-bulu  yang direkatkan dengan air liurnya  dan  ditempelkan di dinding-dinding gua batu  kapur. Sarang terlihat berwarna hitam  karena terbuat  dari air liur  yang bercampur  dengan bulu-bulu  tubuhnya. Warna hitam  tersebut masuk  sampai ke  lapisan yang paling dalam dari sarang burung tersebut. Sarang burung walet hitam tidak sebaik sarang putih, dan harganyapun tidak semahal sarang  burung  walet  putih.  Ciri sarang burung walet  hitam  adalah liur  yang melapisi bahan sarang terlihat hitam (pada kaki, dinding dan dasar sarang), ukuran lebar sarang burung walet hitam 5-7 cm.

·         Sarang Rumput (White bellied swiftlet)
Sarang burung walet rumput dihasilkan walet Collocalia esculanta, Aerodramus fuciphagus atau maximus. Padaumumnya,sarang burung walet tersebut berwarna kehijauan, karena airliur  bercampur  dengan lumut, rumput kering, daun  pinus,  dan cemara.Sarang burung wallet tersebut berasal dari gua maupun gedung.

·         Sarang sriti Lumut (Mostnest swiftlet, Chaoyen).
Sarang burung sriti lumut dihasilkan oleh walet  Collocalia vanikorensis  yang berasal dari campuran air liur dan lumut. Tiap sarang mengandung 2 ± 3 gram liur. Sarang yang baru berwarna hijau, sarang telah lama berwarna cokelat kehitaman dan kering.

·         Sarang merah (Red nest, Siek Yen).
Sarang burung walet  merah  dihasilkan oleh burung walet Aerodramus fuciphagus. Sarang tersebut adalah jenis sarang yang relatif jarang ditemukan dan harganya lebih mahal jika  dibandingkan  dengan sarang  burung walet  jenis  lainnya. Sarang  burung tersebut diproduksi pada musim penghujan yang berasal dari rumah wallet dengan kelembaban udara yang sangat tinggi. Sarang burung walet merah berkualitas adalah sarang dengan warna merah, dan  tidak dijumpai noda atau kotoran yang menempel. Sarang burung walet merah berdiameter ± 9 cm dan bobot sarang mencapai 9 gram.

C.        Kandungan  Gizi dan Pemanfaatan Sarang Burung Walet

            Sarang burung yang terbuat dari bahan organik dari air liur walet ini sebagian besar terdiri dari protein larut dalam air, dimana merupakan jenis yang mudah diserap oleh tubuh manusia. Total kadar protein sekitar 65%, sementara sisanya adalah air 10%, lemak  23,3%), dan karbohidrat 0,8%. Hal ini juga mengandung mineral, dan yang terbanyak adalah kalsium dan zat besi. Total kandungan asam amino dalam sarang burung walet adalah sekitar 6 persen, yang terdiri dari amida, humin, arginin, sistin, histidin, dan lisin. Kemungkinan asam amino ini berasal dari kandungan makanan tertentu yang dimakan oleh burung walet.
            Sarang burung walet mengandung banyak nutrisi yang diyakini bermanfaat dalam meningkatkan produksi sel dalam tubuh, melawan radikal bebas karena banyaknya asam amino dan antioksidan di dalam sarang burung walet, menjaga sistem kekebalan tubuh supaya terhindar dari berbagai jenis penyakit, menambah nafsu makan, memperkuat kerja fungsi paru-paru dan ginjal, meningkatkan kerja jantung, bagi penderita hipertensi mengkonsumsi obat dari sarang burung walet sangatlah baik karena dapat menurunkan tekanan dalam darah, membantu pengobatan penderita kanker dan mencegah terjadinya kanker, biasanya sarang burung walet dapat diolah menjadi minuman ataupun dijadikan sup yang kaya gizi. Namun, tidak semua orang bisa menikmati makanan dari sarang burung walet, sarang burung walet juga baik bagi ibu hamil dan pasca melahirkan karena dapat meningkatkan kesehatan dan meningkatkan antibodi serta kesehatan ibu dan janin yang dikandung serta sarang burung walet banyak mengandung kolagen yang baik untuk kesehatan kulit, mencegah penuaan dini, dan mengencangkan kulit.

D.        Pemalsuan Sarang Burung Walet

            Karena permintaan pasar yang semakin meningkat dengan harga yang sangat tinggi, sarang walet pun telah banyak dipalsukan. Untuk mengetahui sarang burung walet yang palsu  dapat diketahui melalui beberapa cara. Pertama melalui seratnya, sarang burung walet memiliki struktur filamen yang dibentuk oleh potongan-potongan yang tampak terlihat serat. Dapat diketahui apabila serat tersebut bentuknya tidak beraturan menandakan sarang tersebut asli. Sedangkan apabila bentuk seratnya tampak seperti pola atau berbentuk, berarti palsu.
          ` Cara kedua dengan dicium baunya. Semestinya akan tercium bau amis ikan, jika tercium bau menyengat namun tidak berbau amis ikan boleh diduga sarang walet tersebut buatan. Terakhir dengan merendamnya menggunakan air. Sarang burung walet akan lunak setelah melakukan perendaman untuk mengambil atau menarik filamen yang lentur fleksibilitas, setelah itu sarang walet digosok menggunakan jari. Dapat dirasakan kelenturan serat yang fleksibilitas. Diremas-remas untuk mengetahui sarang tersebut palsu atau tidak. Setelah dikeringkan, maka sarang walet palsu terjadi perubahan warna yang mencolok.
            Selain itu ada pula sarang walet yang mengandung bahan kimia atau pemutih. Sarang yang mengandung pemutih tentu akan merugikan konsumen. Hal tersebut dapat merusak kesehatan. Sarang burung walet yang mengandung bahan pemutih mengakibatkan aroma pada sarang burung walet hilang, namun tergantikan dengan aroma bahan kimia. Putih telor sering pula dipergunakan untuk merekatkan sarang walet yang patah.



BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
          Sarang burung walet merupakan komoditas ekspor yang dihasilkan dari air liur burung walet. Melihat kandungan nutrisi yang lengkap dan tinggi di dalam sarang burung walet menjadikan sarang burung walet semakin diburu sehingga kelestarian burung walet semakin terganggu. Sarang burung walet sebagai produk eksklusif  menjadikan harga sarang burung walet meningkat setiap tahunnya. Saat ini harga sarang burung walet mencapai belasan juta rupiah. Sarang burung walet diyakini dapat digunakan untuk menjaga sistem kekebalan tubuh, penambah nafsu makan, memperkuat kerja fungsi paru-paru dan ginjal, meningkatkan kerja jantung, mengobati dan mencegah terjadinya kanker serta sebagai obat awet muda.

Saran
            Mengingat bahwa petrnakan burung walet merupakan peluang bisnis yang cukup menjanjikan maka tidak heran, bawa banyak orang yang ingin membudidayakan dan membuka bisnis ini. Namun dalam kesempatan ini saya ingin memberikan saran bahwa burung walet juga merupakan makhluk hidup di bumi ini jadi untuk itu kita sebagai manusia harus dapat menjaga kelestarian mereka bukan hanya ingin mendapatkan keuntungan semata.




DAFTAR PUSTAKA
Delaney, D, V. 2008. Budidaya Sarang Burung Walet di Jawa Timur. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu politik, Universitas Muhammadiyah Malang. (Tugas Akhir).

Majalah Trubus. 1997. Seri Budidaya Walet I. 328 (28): 58-59.

Majalah Trubus. 1997. Seri Budidaya Walet II. 328 (28): 24-26.


Mardiastuti, A. 1997. Pemanfaatan Sarang Burung Walet secara Lestari. Seminar Pendayagunaan Potensi Burung Untuk Menunjang Pembangunan Nasional. Taman Burung Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta.