TANTANGAN NYATA SARJANA PETERNAKAN
INDONESIA
Oleh:
Dr Ir Ali Agus DAA, DEA,
Dosen Fakultas Peternakan UGM,
Ketua ISPI Cabang DIY, Ketua Panitia Kongres IX ISPI 2006
Dosen Fakultas Peternakan UGM,
Ketua ISPI Cabang DIY, Ketua Panitia Kongres IX ISPI 2006
Indonesia
telah lama dikenal sebagai negara agraris yang sangat subur. Mayoritas
penduduknya (sekitar 60% dari total populasi) hidup dari sektor pertanian dan
bekerja sebagai petani, pekebun, peternak dan nelayan. Sebagai negara yang kaya
akan hasil bumi maka Indonesia memliki potensi alam yang sangat besar, yang
dapat dieksplorasi sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Di Indonesia
ditemukan tidak kurang dari 945 jenis tanaman asli Indonesia yang terbagi
menjadi 77 jenis sumber karbohidrat, 75 jenis sumber lemak/minyak, 26 jenis
kacang-kacangan, 389 jenis buah-buahan, 228 jenis sayuran, 40 jenis bahan
minuman, 110 jenis rempah-rempah dan bumbu-bumbuan, serta 17% species dunia
ditemukan di Indonesia. Namun dari potensi alam yang sangat besar tersebut ternyata
masih banyak jenis sumber daya alam yang belum dapat diolah dan dimanfaatkan
secara optimal oleh bangsa Indonesia sendiri. Ironisnya, sebagian besar
kebutuhan pangan telah tergantung impor dari negara lain.
Menurut
beberapa sumber disebutkan bahwa komoditas dan jumlah impor bahan pangan
seperti beras 3,7 juta ton, gandum 4,5 juta ton, gula 1,6 juta ton, kedelai 1,3
juta ton, bungkil kedelai 1 juta ton, jagung 1,3 juta ton, ternak sapi 450,000
ekor, daging dan jeroan 42 ribu ton, dan susu, mentega, keju : 170 ribu ton
setiap tahunnya. Data tersebut menggambarkan pemanfatan potensi alam yang
kurang optimal atau karena tingginya tingkat kebutuhan akibat jumlah penduduk
yang besar, sehingga kebutuhan pangan tidak dapat dipenuhi dari produksi dalam
negeri sendiri. Bahkan beberapa waktu yang lampau kita semua tersentak dan
kaget oleh berita baik di televisi maupun mass media lain karena masih ada
sebagian dari warga negara ini meskipun hidup di alam merdeka 61 tahun silam,
ternyata masih ada yang mengalami gizi buruk. Di sisi lain, sebagai negara
agraris tentu Indonesia memiliki peluang agribisnis yang sangat besar, antara
lain karena didukung Sumber Daya Alam (SDA) dan Sumber Daya Manusia (SDM) yang
memadai. Dari segi SDM, jumlah penduduk di Indonesia tercatat nomor empat
terbesar di dunia. Pada tahun 2000, populasi penduduk Indonesia mencapai 210
juta dan pada tahun 2035 diperkirakan mencapai 400 juta.
Dengan jumlah
penduduk yang sangat besar tersebut maka secara otomatis merupakan potensi
pasar yang luar biasa khususnya dalam hal pemenuhan kebutuhan pangan termasuk
kebutuhan pangan hewani asal peternakan. Dalam konteks ini peluang agribisnis
peternakan terbuka luas dalam penyediaan kebutuhan konsumsi pangan dan ini
merupakan salah satu tantangan nyata yang sekaligus peluang bagi para Sarjana
Peternakan. Salah satu peluang dalam upaya peningkatan produksi pangan dalam
negeri adalah pemanfaatan lahan kering.
Sebagaimana
disebutkan sebelumnya bahwa Indonesia masih mempunyai potensi lahan khususnya
lahan kering (60 juta ha) yang sangat luas untuk pengembangan pertanian
termasuk peternakan. Namun yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana
memanfaatkan lahan marginal (lahan kering) secara optimal dan apakah SDM kita
sudah siap, serta strategi apa yang harus dilakukan untuk mempersiapkan SDM
dalam pengembangan usaha peternakan yang berdaya saing di kawasan lahan
tersebut ?
Usaha
agribisnis pada umumnya dan khususnya usaha peternakan apalagi di lahan kering
sampai saat ini masih belum efisien dan belum berdaya saing. Untuk membangun
daya saing, usaha peternakan harus berorientasi pada pasar yaitu meliputi
price, quality dan value. Persaingan pasar yang ketat menuntut pelaku bisnis
untuk mampu mengatasi dan menyiasatinya dengan cara menghasilkan produk dengan
harga yang relatif terjangkau dengan tetap mempertahankan kualitas yang baik.
Sistem usaha tani yang seadanya dan secara tradisional belum menghasilkan
keuntungan yang menggembirakan. Petani lahan kering tidak mungkin hidup jika
ekonomi rumah tangganya hanya tergantung kepada hasil tanaman. Oleh karena itu,
pendekatan yang tepat untuk menjawab tantangan tersebut di atas adalah melalui
pendekatan sistem usahatani yang memadukan komoditas tanaman pangan/semusim
dengan tanaman tahunan dan ternak dalam suatu model usahatani yang serasi
dengan mempertimbangkan ketersediaan sumber daya yang dimiliki petani. Sistem
usaha tani terpadu ini diarahkan untuk memperpanjang siklus biologis dengan
mengoptimalkan lahan, hasil samping pertanian, perkebunan dan peternakan
sehingga setiap mata rantai siklus menghasilkan produk baru yang bernilai
ekonomis (hutan-tanaman pertanian-pakan-ternak).
Di samping
upaya pengembangan usaha secara terpadu, kunci keberhasilan bisnis peternakan
sangat tergantung pada SDM sebagai kunci utama dengan didukung oleh minimal
tiga pilar pendukung yaitu 1) lingkungan, 2) modal, dan 3) teknologi. Dari
pilar pendukung yang berupa lingkungan, peranan pemerintah sangat fundamental.
Diharapkan pemerintah mempunyai komitmen politik yang kuat untuk mengembangkan
agribisnis peternakan melalui misalnya penerbitan peraturan perundang-undangan
yang memberikan kepastian hukum dalam pembangunan peternakan yang sinergis
dengan peraturan perundang undangan lain yang terkait, menciptakan iklim usaha
yang kondusif (keamanan), menyediakan sarana-prasarana transportasi dan
komunikasi, dan adanya jaminan hukum atas penguasaan lahan untuk peternakan.
Dari segi
modal, peran lembaga keuangan baik perbankan maupun lembaga keuangan non-bank
diharapkan mendukung dalam upaya-upaya penguatan modal untuk pengembangan
agribisnis peternakan. Selama ini ada indikasi bahwa pihak perbankan enggan
menyalurkan kredit kepada usaha-usaha peternakan karena investasi di bidang
peternakan dipandang cukup berisiko bila dibandingkan dengan jenis usaha lain. Penguatan
modal sangat diperlukan untuk dapat meningkatkan aset bagi peternak dan
pengusaha peternakan. Kebijakan penguatan modal harus lebih berpihak, dengan
skim-skim tertentu yang favorable bagi pengembangan bisnis peternakan. Apabila
kita bandingkan dengan kebijakan penguatan modal yang terjadi di negara
tetangga seperti Australia dan Thailand sangatlah kurang berpihak pada pelaku
bisnis peternakan di Indonesia. Di Australia, untuk usaha peternakan sapi
potong pemerintah memberikan alokasi kredit cukup besar dengan tingkat suku
bunga kurang dari 8% per tahun dan lama kredit antara 15-20 tahun. Kebijakan
ini sangat membantu peternak sapi potong di Australia untuk memiliki aset yang
cukup sehingga akhirnya berdaya saing tinggi. Demikian pula pengembangan ternak
(sapi perah) di Thailand, kebijakan pemerintah dalam penguatan modal sangat
menguntungkan peternak. Kalau kita bandingkan dengan kondisi di Indonesia,
kebijakan penguatan modal masih belum memihak, karena sebagai contoh kredit
ketahanan pangan, jangka waktu pengembalian kredit maksimal 3 tahun dengan
tingkat suku bunga komersial (>12% per tahun). Kondisi demikian ini tidak
memungkinkan petani-peternak memiliki aset yang cukup, sehingga daya saingnya
tentu sangat rendah.
Upaya
mendorong SDM menuju ke arah entrepreneur (agropreneur) baik yang masih
berpendidikan rendah maupun yang telah berpendidikan tinggi (D3, S1) khususnya
para Sarjana Peternakan untuk meniti karier di dunia bisnis
peternakan-pertanian perlu terus dilakukan dan dalam hal ini Perguruan Tinggi
mempunyai peran yang signifikan. Pendidikan Tinggi Peternakan perlu membekali
lulusannya dengan knowledge, skill, ability dan attitude yang cukup di samping
entrepreneurships maupun leaderships.
Di samping
melalui jalur pendidikan untuk menghasilkan lulusan dan SDM yang qualified dan
berjiwa entrepreneur, satu hal yang harus dilakukan terutama oleh pemerintah
adalah perlunya pemberian “insentif” bagi pelaku usaha yang bersedia membangun
usaha di kawasan lahan kering. Insentif dapat diterapkan misalnya dengan
penerapan keringanan pajak, kemudahan-kemudahan dalam pengurusan usaha,
perlindungan hukum dan pembangunan sarana-prasarana yang menunjang usaha.
Penerapan insentif ini akan dapat mendorong SDM yang berkualitas dan
berdedikasi untuk tetap bersedia tinggal dan hidup membangun daerah lahan
kering dan secara tidak langsung akan mengurangi arus urbanisasi.
Usaha
pengembangan ternak tidak hanya perlu modal, bibit unggul, pasar dan sarana
prasarana akan tetapi sangat membutuhkan SDM yang tangguh dan andal,
bermotivasi tinggi, trampil dalam mengelola usaha, tanggap terhadap permintaan
pasar, dan responsif terhadap teknologi baru. Inilah tantangan riil para
Sarjana Peternakan Indonesia untuk dapat mengoptimalkan lahan marginal yang
masih undertulized melalui pengembangan usaha peternakan sehingga masalah
kemiskinan dan gizi buruk perlahan tapi pasti akan dapat diatasi.
( kampoengternak.or.id )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar